Senin, 26 Desember 2011

KAJIAN KRITIS AWAL SD PERLU TRANSISI


AWAL SD PERLU TRANSISI
Hindari Muatan Akademis pada Beban Pelajaran
JAKARTA, KOMPAS
Usia siswa kelas I-III SD masih tergolong masa kanak-kanak. Sebagai anak yang masih berusia di bawah 10 tahun, perkembangan kejiwaan mereka lebih didominasi oleh naluri bermain. "Oleh karena itu, sungguh tidak proporsional jika pada masa seperti itu muatan pelajaran untuk mereka dijejali dengan aspek akademis dan pendekatan yang formal," kata Mudjito, Direktur Pembinaan TK/SD Depdiknas, di Jakarta hari Rabu (11/1).
Terkait dengan itu, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak/Sekolah Dasar Depdiknas tengah merancang pengurangan beban belajar, Aspek akademis yang selama ini ditransformasikan para guru kepada siswa kelas I-III melalui tatap muka di kelas akan direduksi menjadi model permainan dan tak mesti di dalam kelas. Kelak, kata Mudjito, anak-anak kelas I-III SD lebih banyak dikenalkan konsep baca, tulis, dan berhitung dalam bentuk permainan. "Bila perlu mereka lebih banyak di luar kelas, misalnya di halaman sekolah atau lingkungan sosial," ujarnya.
Menurut Mudjito, upaya pengurangan beban dan pelenturan pola pembelajaran bagi kelas-kelas awal SD tersebut berangkat dari keluhan orangtua siswa bahwa ada kecenderungan putra-putri mereka jadi malas ke sekolah. Setelah diusut, ternyata putra-putri mereka cenderung merasa terbebani dengan muatan pelajaran yang berat. Apalagi bila materinya disampaikan secara kaku di depan kelas. Anak-anak akhirnya malah tidak melakoni pernbelajaran dengan asyik, tapi menganggapnya sebagai beban.
"Kalau kegagapan anak-anak itu dibiarkan dan tidak disikapi secara arif, bukan mustahil mereka nantinya putus sekolah di tengah jalan," tambah Mudjito.
la menjelaskan, awal Januari ini pihaknya telah menyampaikan usulan pengurangan beban belajar kepada Badan Standar Nasional Pendidikan. Pengajuan usulan tersebut bertepatan dengan momentum digodoknya standar isi pendidikan dan struktur kurikulum oleh BSNP.


Pembelajaran tematik
Secara terpisah, Ketua BSNP Bambang Suhendro mengatakan, pihaknya memang tengah mengkaji usulan tersebut. Kelak, di kelas I-III SD tak ada lagi mata pelajaran diberikan secara tersendiri, tetapi secara tematik.
Misalnya, dengan mengarahkan siswa bermain di halaman sekolah, pelajaran Matematika. Ilmu Pengetahuan Sosial. dan Ilmu Pengetahuan Alam bisa diberikan sekaligus. Dengan demikian, beban belajar akan berkurang dan tak selamanya harus melalui tatap muka di kelas.
"Saat ini kebetulan kami tengah memfinalisasi standar isi pendidikan dan struktur kurikulum yang pada akhirnya akan mengurangi beban dan pelajaran rata-rata 10 persen pada jenjang SD/Ml-SMA/MA," kata Bambang Suhendro.
Dalam uji publik standar isi pendidikan tanggal 21-23 Desember 2005, BSNP telah merancang beban belajar kegiatan tatap muka untuk jenjang SD/Ml hingga SMA/MA. Untuk jenjang SD/MI kelas I-III, dirancang 29-32 jam pelajaran per minggu atau 986-1.216 waktu pembelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara dengan 35 menit. Untuk kelas IV-V1. dirancang 34 jam pelajaran perminggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara 35 menit. Untuk SMP/MTs dirancang 34 jam pelajaran per minggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran untuk tingkat ini setara 40 menit. Adapun untuk SMA/MA dirancang 38 jam pelajaran perminggu atau 1.292-1444 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara 45 menit (NAR).



KAJIAN KRITIS (AWAS SD PELU TRANSISI)

Pendahuluan
Artikel yang berjudul “AWAS SD PERLU TRANSISI” yang dimuat dalam kompas pada 12 januari 2006. Untuk menemukan alamat dari  artikel dapat diakses pada http://www.semipalar.net/artikel/artikel13.html. alasan pemilihan artikel ini karena judul dan isi yang menarik.
Rangkuman
Penulis menyampaikan keprihatinnanya terhadap pola pengajaran di SD yang seakan menjejali anak usia dibawah sepuluh tahun dengan berbagai materi akademis. Karena pada dasarnya sebagai anak yang masih berusia di bawah 10 tahun, perkembangan kejiwaan mereka lebih didominasi oleh naluri bermain. Oleh karena itu tidak selayaknya anak pada masa itu mereka dijejali dengan aspek akademis dan pendekatan yang formal.
Oleh karena itu menurutnya Aspek akademis yang selama ini ditransformasikan para guru kepada siswa kelas I-III melalui tatap muka di kelas akan direduksi menjadi model permainan dan tak mesti di dalam kelas. Kelak, kata Mudjito, anak-anak kelas I-III SD lebih banyak dikenalkan konsep baca, tulis, dan berhitung dalam bentuk permainan. "Bila perlu mereka lebih banyak di luar kelas, misalnya di halaman sekolah atau lingkungan sosial," ujarnya.  Semua hal itu bertujuan agar anak SD dapat melakukan transisi dengan baik. Kajian dari masalah diatas sedang diperhitungkan dengan pola pembelajaran tematik.
 
Analisis menurut pandangan ontologis, epistemologis, dan aksiologis
1.      Dipandang dari segi ontologis
Usia 10 tahun memang merupakan usia dimana anak pada usia tersebut perkembangan kejiwaan mereka didominasi oleh naluri bermain. Sehingga agar siswa tertaik dan senang dalam pembelajaran di SD harus menerapkan pembelajaran yang tidak membosankan dan cenderung bersifat belajar sambil bermain. Namun realitas saat ini berkebalikan dengan itu semua, banyak SD yang malah membuat program pembelajaran mereka bersifat akademis dan formal, hal itu sebenarnya hanya untuk menunjukan eksistensi sekolah tersebut, padahal sebenarnya semua hal itu salah kaprah. Karena anak akan merasa dikekang dengan semua itu.
2.      Dipandang dari segi epistemlogis
Mengapa SD melakukan formalitasdan akademisasi pada pembelajaran anak usia dibawah 10 tahun? Seperti pada pembahasan sebelumnya, karena publik yang salah-kaprah dengan pengertian yang dianggap bahwa jika anak mereka di sekolahkan di sekolah yang formalitas dan akademisasinya dimulai sejak dini aka menghasilkan output yang bagus pada nantinya. Padahal semua hal itu hanya akan membuat anak karbitan yang pintar kognitif aja dan lemah pada afektif dan psikomotorik.
3.      Dipandang dari segi aksiologis
Untuk apa revolusi pembelajaran dilakukan? Sebenarnya revolusi pembelajaran tidak perlu direvolusi secara total dan mengarah meninggalkan yang lama. Karena tidak semua sistem yang ada dalam pembelajaran saat ini salah. Terpenting adalah revolusi agar proses pelaksaan dan rencananya berjalan dengan lancar agar setiap pihak dalam pendidikan dapat menikmati progran tersebut.

Komentar
Menurut pendapat saya artikel ini sangat menarik  dan bagus untuk dibaca oleh semua pihak yang memandang pentingnya pendidikan. Karena dalam artikel ini berisi uraian yang membahas tentang kelemahan sistem yang sekarang ini diterapkan dan apa solusi yang tepat untuk menghindari kesalahan yang sama. Namun dalam artikel ini tidak menyebutkan akibat dari penekanan sekolah yang menformalisasi dan akademisasi anak. Padahal hal itu nyata terjadi seperti anak itu akan menjadi anak karbitan yang menguasi kognitif diatas rata-rata namun kurang dalam afektif dan psikomotoriknya. Sehingga pada nantinya anak akan menjadi sosok dewasa yang kekanak-kanakan, hal itu karena pada saat kecil mereka menjadi anak kecil yang dibonekakan menjadi dewasa oleh lingkungan mereka.
Kritik dan Saran
·         Kritik
Kelebihan
1.      Urian yang diberikan bermanfaat
2.      Artikel jelas ditujukan pada pihak-pihak yang berkecibung dalam dunia pendidikan.
3.      Efisiensi kalimat, sehingga pembaca langsung tahu apa yang dimaksudkan oleh penulis.
Kekurangan
1.      Banyak kata yang artinya susah dimengerti oleh kalanagan bawah.
2.      Penyebab dan dampak dari rumusan masalah yang dia angkat tidak tercantum. Sehingga seakan ini merupakan artikel instan.
3.      Dalam penulisannya tidak sistematis
4.      Kurang sumber dan pengertian yang lebih mendalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar