AWAL
SD PERLU TRANSISI
Hindari
Muatan Akademis pada Beban Pelajaran
JAKARTA, KOMPAS
Usia siswa kelas I-III SD masih
tergolong masa kanak-kanak. Sebagai anak yang masih berusia di bawah 10
tahun, perkembangan kejiwaan mereka lebih didominasi oleh naluri bermain. "Oleh
karena itu, sungguh tidak proporsional jika pada masa seperti itu muatan
pelajaran untuk mereka dijejali dengan aspek akademis dan pendekatan yang
formal," kata Mudjito, Direktur Pembinaan TK/SD Depdiknas, di Jakarta hari
Rabu (11/1).
Terkait dengan itu, Direktorat
Pembinaan Taman Kanak-kanak/Sekolah Dasar Depdiknas tengah merancang
pengurangan beban belajar, Aspek akademis yang selama ini ditransformasikan
para guru kepada siswa kelas I-III melalui tatap muka di kelas akan direduksi
menjadi model permainan dan tak mesti di dalam kelas. Kelak, kata Mudjito,
anak-anak kelas I-III SD lebih banyak dikenalkan konsep baca, tulis, dan
berhitung dalam bentuk permainan. "Bila perlu mereka lebih banyak di luar
kelas, misalnya di halaman sekolah atau lingkungan sosial," ujarnya.
Menurut Mudjito, upaya pengurangan
beban dan pelenturan pola pembelajaran bagi kelas-kelas awal SD tersebut
berangkat dari keluhan orangtua siswa bahwa ada kecenderungan putra-putri
mereka jadi malas ke sekolah. Setelah diusut, ternyata putra-putri mereka
cenderung merasa terbebani dengan muatan pelajaran yang berat. Apalagi bila
materinya disampaikan secara kaku di depan kelas. Anak-anak akhirnya malah
tidak melakoni pernbelajaran dengan asyik, tapi menganggapnya sebagai beban.
"Kalau kegagapan anak-anak itu
dibiarkan dan tidak disikapi secara arif, bukan mustahil mereka nantinya putus
sekolah di tengah jalan," tambah Mudjito.
la menjelaskan, awal Januari ini
pihaknya telah menyampaikan usulan pengurangan beban belajar kepada Badan
Standar Nasional Pendidikan. Pengajuan usulan tersebut bertepatan dengan
momentum digodoknya standar isi pendidikan dan struktur kurikulum oleh BSNP.
Pembelajaran tematik
Secara terpisah, Ketua BSNP Bambang
Suhendro mengatakan, pihaknya memang tengah mengkaji usulan tersebut. Kelak, di
kelas I-III SD tak ada lagi mata pelajaran diberikan secara tersendiri, tetapi
secara tematik.
Misalnya, dengan mengarahkan siswa
bermain di halaman sekolah, pelajaran Matematika. Ilmu Pengetahuan Sosial. dan
Ilmu Pengetahuan Alam bisa diberikan sekaligus. Dengan demikian, beban belajar
akan berkurang dan tak selamanya harus melalui tatap muka di kelas.
"Saat ini kebetulan kami
tengah memfinalisasi standar isi pendidikan dan struktur kurikulum yang pada
akhirnya akan mengurangi beban dan pelajaran rata-rata 10 persen pada jenjang
SD/Ml-SMA/MA," kata Bambang Suhendro.
Dalam uji publik standar isi
pendidikan tanggal 21-23 Desember 2005, BSNP telah merancang beban belajar
kegiatan tatap muka untuk jenjang SD/Ml hingga SMA/MA. Untuk jenjang SD/MI
kelas I-III, dirancang 29-32 jam pelajaran per minggu atau 986-1.216 waktu
pembelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara dengan 35 menit. Untuk kelas
IV-V1. dirancang 34 jam pelajaran perminggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per
tahun. Satu jam pelajaran setara 35 menit. Untuk SMP/MTs dirancang 34 jam
pelajaran per minggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran
untuk tingkat ini setara 40 menit. Adapun untuk SMA/MA dirancang 38 jam
pelajaran perminggu atau 1.292-1444 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran
setara 45 menit (NAR).
KAJIAN KRITIS (AWAS SD PELU TRANSISI)
Pendahuluan
Artikel yang berjudul
“AWAS SD PERLU TRANSISI” yang dimuat dalam kompas pada 12 januari 2006. Untuk
menemukan alamat dari artikel dapat
diakses pada http://www.semipalar.net/artikel/artikel13.html. alasan pemilihan
artikel ini karena judul dan isi yang menarik.
Rangkuman
Penulis menyampaikan
keprihatinnanya terhadap pola pengajaran di SD yang seakan menjejali anak usia
dibawah sepuluh tahun dengan berbagai materi akademis. Karena pada dasarnya sebagai anak yang masih berusia di bawah 10 tahun, perkembangan kejiwaan
mereka lebih didominasi oleh naluri bermain. Oleh karena itu tidak selayaknya
anak pada masa itu mereka dijejali dengan
aspek akademis dan pendekatan yang formal.
Oleh
karena itu menurutnya Aspek akademis
yang selama ini ditransformasikan para guru kepada siswa kelas I-III melalui
tatap muka di kelas akan direduksi menjadi model permainan dan tak mesti di
dalam kelas. Kelak, kata Mudjito, anak-anak kelas I-III SD lebih banyak
dikenalkan konsep baca, tulis, dan berhitung dalam bentuk permainan. "Bila
perlu mereka lebih banyak di luar kelas, misalnya di halaman sekolah atau
lingkungan sosial," ujarnya. Semua
hal itu bertujuan agar anak SD dapat melakukan transisi dengan baik. Kajian
dari masalah diatas sedang diperhitungkan dengan pola pembelajaran tematik.
Analisis
menurut pandangan ontologis, epistemologis, dan aksiologis
1.
Dipandang dari segi ontologis
Usia 10 tahun memang
merupakan usia dimana anak pada usia tersebut perkembangan kejiwaan mereka
didominasi oleh naluri bermain. Sehingga agar siswa tertaik dan senang dalam
pembelajaran di SD harus menerapkan pembelajaran yang tidak membosankan dan
cenderung bersifat belajar sambil bermain. Namun realitas saat ini berkebalikan
dengan itu semua, banyak SD yang malah membuat program pembelajaran mereka
bersifat akademis dan formal, hal itu sebenarnya hanya untuk menunjukan
eksistensi sekolah tersebut, padahal sebenarnya semua hal itu salah kaprah.
Karena anak akan merasa dikekang dengan semua itu.
2.
Dipandang dari segi epistemlogis
Mengapa SD melakukan
formalitasdan akademisasi pada pembelajaran anak usia dibawah 10 tahun? Seperti
pada pembahasan sebelumnya, karena publik yang salah-kaprah dengan pengertian
yang dianggap bahwa jika anak mereka di sekolahkan di sekolah yang formalitas
dan akademisasinya dimulai sejak dini aka menghasilkan output yang bagus pada
nantinya. Padahal semua hal itu hanya akan membuat anak karbitan yang pintar
kognitif aja dan lemah pada afektif dan psikomotorik.
3.
Dipandang dari segi aksiologis
Untuk apa revolusi
pembelajaran dilakukan? Sebenarnya revolusi pembelajaran tidak perlu direvolusi
secara total dan mengarah meninggalkan yang lama. Karena tidak semua sistem
yang ada dalam pembelajaran saat ini salah. Terpenting adalah revolusi agar
proses pelaksaan dan rencananya berjalan dengan lancar agar setiap pihak dalam
pendidikan dapat menikmati progran tersebut.
Komentar
Menurut pendapat saya
artikel ini sangat menarik dan bagus
untuk dibaca oleh semua pihak yang memandang pentingnya pendidikan. Karena
dalam artikel ini berisi uraian yang membahas tentang kelemahan sistem yang
sekarang ini diterapkan dan apa solusi yang tepat untuk menghindari kesalahan
yang sama. Namun dalam artikel ini tidak menyebutkan akibat dari penekanan
sekolah yang menformalisasi dan akademisasi anak. Padahal hal itu nyata terjadi
seperti anak itu akan menjadi anak karbitan yang menguasi kognitif diatas
rata-rata namun kurang dalam afektif dan psikomotoriknya. Sehingga pada
nantinya anak akan menjadi sosok dewasa yang kekanak-kanakan, hal itu karena
pada saat kecil mereka menjadi anak kecil yang dibonekakan menjadi dewasa oleh
lingkungan mereka.
Kritik
dan Saran
·
Kritik
Kelebihan
1. Urian yang diberikan bermanfaat
2. Artikel jelas ditujukan pada pihak-pihak
yang berkecibung dalam dunia pendidikan.
3. Efisiensi kalimat, sehingga pembaca
langsung tahu apa yang dimaksudkan oleh penulis.
Kekurangan
1. Banyak kata yang artinya susah dimengerti
oleh kalanagan bawah.
2. Penyebab dan dampak dari rumusan masalah
yang dia angkat tidak tercantum. Sehingga seakan ini merupakan artikel instan.
3. Dalam penulisannya tidak sistematis
4. Kurang sumber dan pengertian yang lebih
mendalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar