Teori Belajar Jean Piaget
Ahli
teori belajar yang sangat berpengaruh adalah Jean Peaget. Dia adalah ahli
psikologi bangsa Swiss yang meyakini bahwa perkembangan mental setiap pribadi
melewati empat tahap yaitu:
- Tahap
sensorimotorik (0-2 tahun) pada tahap ini anak-anak mengembangkan konsep
pada dasarnya melalui interaksi dengan dunia fiksi
- Tahap
praoperasional (2-7 tahun). Pada tahap ini anak sudah mulai untuk
menyatakan ide, tetapi ide tersebut masih sangat tergantung pada persepsi.
Pada tahap ini anak telah mulai menggunakan simbol, dia belajar untuk
membedakan antara kata atau istilah dengan objek yang diwakili oleh kata
atau istilah tersebut.
- Tahap
operasi kongkret (7-12 tahun)selama tahap ini anak mengembangkan konsep
dengan menggunakan benda-benda kongkret untuk menyelidiki
hubungan dan model-model ide abstrak bahasa merupakan alat yang sangt
penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep. Pada tahap ini anak
sudah mulai berpikir logis, berpikir logis ini terjadi sebagai akibat
adanya kegiatan anak memanipulasikan benda-benda kongkret.
- Tahap
operasi formal (12 dewasa) anak sudah mulai mampu berpikir secara abstrak,
dia dapat menyusun hipotesis dari hal-hal yang abstrak menjadi dunia real
dan tidak terlalu bergantung pada benda-benda kongkret.
Piaget
menekankan bahwa proses belajar merupakan suatu asimilasi dan akomodasi
informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi adalah proses terpadunya
informasi dan pengalaman baru ke dalam struktur mental. Akomodasi adalah
perubahan pikiran sebagai suatu akibat adanya informasi dan pengalaman baru,
mereka secara aktif mencoba. Sebagai contoh dalam operasi penjumlahan, anak
memahami 5 + 3 = 8 dengan memanipulasi benda-benda kongkret yang telah dia
kenal.
Teori Belajar Brownell
Salah
satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William
Artur Brownell, yang mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Menurut
Brownell (1935), ia mengatakan :
“…he characterized his point of
view as the “meaning theory.” In developing it, he laid the foundation for the
emergence of the “new mathematics.” He showed that understanding, not sheer
repetition, is the basis for children's mathematical learning…”
Pada
penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya pada aritmetika mengemukakan
belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian atau
yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam perkembangannya ia
meletakkan pondasi munculnya matematika baru.
Teori
belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak pasti
memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau
secara terus menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak
untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan
benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika.
Meaning Theory yang
diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan hafal/ulangan).
Menurut
Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar respon
otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran
matematika yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus
respon, menurutnya terkesan bahwa proses pembelajaran matematika khususnya
aritmetika dipahami semata-mata hanya sebagai kemahiran.
Dalam
teorinya Brownell mengakui akan pentingnya drill, tetapi harus dikukan apabila
konsep, prinsip, atau proses yang dipelajari telah lebih dahulu dipahami oleh
siswa. Hal ini ini dikarenakan bahwa penguasaan seseorang terhadap matematika
tidak cukup hanya dilihat dari kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja,
tetapi juga dalam aspek praktis dan kemampuan berpikir kuantitatif.
Selain
itu juga Brownell memberikan saran dalam pengajaran matematika, siswa sebaiknya
memahami pentingnya bilangan, baik dalam segi kehidupan sosial manusia maupun
segi intelektual dalam sistem kualitatif.
Teori Dienes
Zoltan P. Dienes
adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara
pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori piaget, dan
pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem
yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes
berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dianggap sebagai studi tentang
struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan
mengkatergorikan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur. Dienes
mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang
disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini
mengandung arti bahwa jika benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan
akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Perkembangan
konsep matematika menurut Dienes (dalam Resnick, 1981) dapat dicapai melalui
pola berkelanjutan, yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajar dari
kongkret ke simbolik. Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab
operasi matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara kongkret
dan lebih membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada anak didik.
Menurut
Dienes komsep-konsep pembelajaran matematika akan berhasil jika dipelajari
dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membaginya kedalam 6 tahap, yaitu:
1. Permainan Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap
yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur
benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai
membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk
memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block
logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna,
tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.
2.
Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dengan
melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana
struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan
dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena
akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang
dipelajari itu. Menurut Dienes, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam
pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh
dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk
kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk
kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam
membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman
terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang
tebal atau tidak
merah (biru, hijau, kuning).
3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching
for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa
mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan
yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru
perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk
permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak
yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan
block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang
yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari
benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota
kelompok).
4. Permainan
Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu.
Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam
situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat
abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika
yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan dari setiap
konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan
verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan
pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya
diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
Rumus menentukan banyaknya diagonal suatu poligon
Banyaknya diagonal =
Keterangan :
n : banyaknya segi
6. Permainan
dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini
siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian
merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah
mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Dienes
menyatakan bahwa proses pemahaman ( abstraction ) anak berlangsung selama
belajar.
Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan
materi matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan
tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai
penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain
dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik.
Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah
proses pengklasifikasian abstraksi konsep.
material kongkret
dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan Berhubungan
dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan
yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan
untuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan
temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak
didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanda simbol - simbol dengan konsep
tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan
kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi
melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan
anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar menghapal.
Penerapan
teori belajar Dienes dalam pembelajaran matematika
Anak yang telah memahami hukum kekekalan bilangan akan mengerti bahwa
banyaknya suatu benda-benda akan tetap meskipun letaknya berbeda-beda atau
diubah letaknya. Anak yang sudah memahami hukum kekekalan bilangan sudah siap
untuk menerima pelajaran konsep bilangan dan operasinya. Sementara itu, anak
yang belum memahami hukum kekekalan bilangan baginya belum waktunya mendapatkan
pelajaran operasi penjumlahan dan operasi hitung lainnya. Hukum kekekalan
bilangan biasanya dipahami anak pada usia 6 – 7 tahun.
Seorang anak sudah memahami hukum kekekalan bilangan atau belum, dapat
diketahui dengan diberikan kegiatan sebagai berikut:
a. Buatlah dua kelompok benda (batu atau kelereng) yang besar dan
banyaknya sama, serta penataan letaknya sama. Tanyakan pada anak yang
diselidiki, dengan pertanyaan: banyaknya batu pada dua kelomok sama atau tidak?
Pastikan bahwa anak akan memahami dengan benar hukum kekekalan tersebut kalau
menjawab banyaknya sama (Gambar )
Gambar . Dua kelompok benda sama banyak dan sama letaknya.
b. Di depan anak yang sedang diselidiki, salah satu dari kelompok batu
itu disebar atau diubah letaknya. Kemudian tanyakan kembali pada anak tersebut,
apakah banyaknya batu yang ada pada dua kelompok itu tetap sama atau tidak?
Jika anak menjawab dengan pasti bahwa banyaknya batu tetap sama, maka anak
tersebut sudah memahami hukum
kekekalan bilangan. Jika anak tersebut ragu-ragu atau dijawabnya tidak sama,
maka anak tersebut belum memahami hukum kekekalan bilangan (Gambar )
Gambar . .Salah satu kelompok diubah letaknya.
Kegiatan atau permainan pemasangan satu-satu
terhadap benda-benda dalam 2 kelompok tersebut dapat diberikan pada anak yang
belum memahami kekekalan bilangan. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat
pemahaman anak terhadap hukum kekekalan bilangan.
Teori Van Hiele
Pembelajaran
Geometri
Geometri
menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika menengah, karena banyaknya
konsep-konsep yang termuat di dalamnya. Dari sudut pandang psikologi, geometri
merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial, misalnya
bidang, pola, pengukuran dan pemetaan. Sedangkan dari sudut pandang matematik,
geometri menyediakan pendekatan-pendekatan untuk pemecahan masalah, misalnya
gambar-gambar, diagram, sistem koordinat, vektor, dan transformasi. Geometri
juga merupakan lingkungan untuk mempelajari struktur matematika.
Usiskin
mengemukakan bahwa
1.
geometri
adalah cabang matematika yang mempelajari pola-pola visual,
2.
geometri
adalah cabang matematika yang menghubungkan matematika dengan dunia fisik atau
dunia nyata,
3.
geometri
adalah suatu cara penyajian fenomena yang tidak tampak atau tidak bersifat
fisik, dan
4.
geometri
adalah suatu contoh sistem matematika.
Tujuan
pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai
kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi
secara matematik, dan dapat bernalar secara matematik. Sedangkan Budiarto
menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan
pengetahuan untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta
menginterpretasikan argumen-argumen matematik.
Pada
dasarnya geometri mempunyai peluang yang lebih besar untuk dipahami siswa
dibandingkan dengan cabang matematika yang lain. Hal ini karena ide-ide
geometri sudah dikenal oleh siswa sejak sebelum mereka masuk sekolah, misalnya
garis, bidang dan ruang. Meskipun demikian, bukti-bukti di lapangan menunjukkan
bahwa hasil belajar geometri masih rendah dan perlu ditingkatkan. Bahkan, di
antara berbagai cabang matematika, geometri menempati posisi yang paling
memprihatinkan.
Di
Amerika Serikat, hanya separuh dari siswa yang ada yang mengambil pelajaran
geometri formal, dan hanya sekitar 34% siswa-siswa tersebut yang dapat
membuktikan teori dan mengerjakan latihan secara deduktif. Selain itu, prestasi
semua siswa dalam masalah yang berkaitan dengan geometri dan pengukuran masih
rendah . Selanjutnya, Hoffer menyatakan bahwa siswa-siswa di Amerika dan Uni
Soviet sama-sama mengalami kesulitan dalam belajar geometri.
Rendahnya
prestasi geometri siswa juga terjadi di Indonesia. Bukti-bukti empiris di
lapangan menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam
belajar geometri, mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa prestasi geometri siswa SD masih rendah (Sudarman,
2000:3). Sedangkan di SMP ditemukan bahwa masih banyak siswa yang belum
memahami konsep-konsep geometri. Sesuai penelitian Sunardi (2001) ditemukan
bahwa banyak siswa salah dalam menyelesaikan soal-soal mengenai garis sejajar
pada siswa SMP dan masih banyak siswa yang menyatakan bahwa belah ketupat bukan
jajargenjang.
Di
SMU, Madja (1992:3) mengemukakan bahwa hasil tes geometri siswa kurang
memuaskan jika dibandingkan dengan materi matematika yang lain. Kesulitan siswa
dalam memahami konsep-konsep geometri terutama pada konsep bangun ruang. Madja
(1992:3) menyatakan bahwa siswa SMU masih mengalami kesulitan dalam melihat
gambar bangun ruang. Sedangkan di perguruan tinggi, berdasarkan pengalaman,
pengamatan dan penelitian ditemukan bahwa kemampuan mahasiswa dalam melihat
ruang dimensi tiga masih rendah. Bahkan dari berbagai penelitian, masih
ditemukan mahasiswa yang menganggap gambar bangun ruang sebagai bangun datar,
mahasiswa masih sulit menentukan garis bersilangan dengan berpotongan, dan
belum mampu menggunakan perolehan
geometri SMU untuk menyelesaikan permasalahan geometri ruang. Untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan dalam belajar geometri tersebut, cara yang dapat ditempuh
adalah penerapan teori van Hiele.
Teori
van Hiele dan Penelitian yang Relevan
Teori
van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van
Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional dan
memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet
dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri
berdasar pada teori van Hiele. Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan
perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele. Sedangkan di Amerika
Serikat pengaruh teori van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an.
Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus
meningkat.
Beberapa
penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori van Hiele
memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango (1993:157)
menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar van Hiele
dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang memuaskan.
Senk (1989:318) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis pembuktian
geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele. Mayberry (1983:67)
berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori van Hiele
adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986:47) melaporkan bahwa siswa
menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir geometri sesuai
dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo (1989:77) menyimpulkan bahwa
pembelajaran geometri dengan pembelajaran model van Hiele lebih efektif
daripada pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni (2001:165) menyatakan
bahwa penerapan model van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir
siswa.
Tingkat
Berpikir van Hiele
Teori
van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre
Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, menjelaskan perkembangan berpikir
siswa dalam belajar geometri. Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui
lima tahap perkembangan berpikir dalam belajar geometri. Kelima tahap
perkembangan berpikir van Hiele adalah tahap 0 (visualisasi), tahap 1
(analisis), tahap 2 (deduksi informal), tahap 3 (deduksi), dan tahap 4 (rigor).
Tahap
berpikir van Hiele dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tahap
0 (Visualisasi)
Tahap
ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, tahap
visual. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar
berdasar karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak
terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai
keseluruhan. Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan
menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan.
Tahap
1 (Analisis)
Tahap
ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah tampak adanya
analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-sifat
suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar
dan membuat model. Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan
hubungan antara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara
beberapa bangun geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa.
Tahap
2 (Deduksi Informal)
Tahap
ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap
teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer, Argyropoulos dan Orton menyebut tahap ini dengan tahap ordering.
Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu
bangun geometri dan sifat-sifat antara beberapa bangun geometri. Siswa dapat
membuat definisi abstrak, menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan
menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara
hirarki. Meskipun demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah
metode untuk membangun geometri.
Tahap
3 (Deduksi)
Tahap
ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Pada tahap ini siswa dapat
menyususn bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti. Siswa dapat menyusun teorema
dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini siswa berpeluang untuk mengembangkan
bukti lebih dari satu cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat
dibuat dan siswa menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran
deduktif.
Tahap
4 (Rigor)
Clements
& Battista juga menyebut tahap ini
dengan tahap metamatematika, sedangkan Muser dan Burger menyebut dengan tahap
aksiomatik. Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem matematika
dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan definisi. Saling
keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma, definisi, teorema
dan pembuktian formal dapat dipahami.
Teori
van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) tahap-tahap tersebut bersifat
hirarki dan sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya
lebih bergantung pada pembelajaran, dan (3) setiap tahap mempunyai kosakata dan
sistem relasi sendiri-sendiri. Burger dan Culpepper juga menyatakan bahwa
setiap tahap memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan
sendiri-sendiri.
Clements
& Battista menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu
(1) belajar adalah proses yang tidak kontinu, terdapat “lompatan” dalam kurva
belajar seseorang, (2) tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3)
konsep yang dipahami secara implisit pada suatu tahap akan dipahami secara
ekplisit pada tahap berikutnya, dan (4) setiap tahap mempunyai kosakata
sendiri-sendiri. Crowley menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai sifat-sifat
berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus melalui tahap-tahap tersebut
sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni keberhasilan dari tahap ke tahap lebih
banyak dipengaruhi oleh isi dan metode pembelajaran daripada oleh usia; (3)
intrinsik dan kestrinsik, yakni obyek yang masih kurang jelas akan menjadi
obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni masing-masing tahap
mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5) mismacth, yakni jika
seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang
berbeda. Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan
lainnya berada pada tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa.
Setiap
tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa
dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas
pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih
ditentukan oleh proses berpikir yang digunakan.
Tahap-tahap
berpikir van Hiele akan dilalui siswa secara berurutan. Dengan demikian siswa
harus melewati suatu tahap dengan matang sebelum menuju tahap berikutnya.
Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak
bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada umur dan kematangan.
Dengan demikian, guru harus menyediakan pengalaman belajar yang cocok dengan
tahap berpikir siswa.Menurut Van Hiele ada tiga unsure dalam pengajaran
matematika yaitu waktu,materi pengajaran danmetode pengajaran,jika ketiganya
ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak
kepada tingkatan berfikir lebih tinggi
1. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 1 (Informasi)
a. Dengan memakai gambar bermacam-macam bangun segiempat, siswa
diinstruksikan untuk memberi nama masing-masing bangun.
b. Guru mengenalkan kosa kata khusus, seperti: simetri lipat,
simetri putar, sisi berhadapan, sudut berhadapan, dan sisi sejajar.
c. Dengan metode tanya jawab, guru menggali kemampuan awal siswa.
2. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 2 (Orientasiasi)
1. Siswa disuruh membuat suatu model
bangun segiempat dari kertas.
a. Dengan
menggunakan model bangun tersebut serta kertas berpetak siku-siku, siswa
diinstruksikan untuk menyelidiki:
1)
banyaknya sisi berhadapan yang sejajar
2) sudut
suatu bangun siku-siku atau tidak
b. Dengan
menggunakan suatu model bangun, siswa diminta untuk melipat model bangun
tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menemukan sumbu simetri. Selanjutnya
siswa diinstruksikan untuk menyelidiki banyaknya sumbu simetri yang dimiliki
oleh suatu bangun.
c. Melipat
model tersebut pada diagonalnya, kemudian menempatkan yang satu di atas yang
lain. Siswa diminta untuk menyelidiki banyaknya pasangan sudut berhadapan yang
besarnya sama.
d. Memotong
pojok yang berdekatan, kemudian menempatkan salah satu sisi potongan pertama
berimpit dengan salah satu sisi potongan yang kedua. Siswa diminta untuk
menyelidiki apakah sudut yang berdekatan membentuk sudut lurus.
e. Memotong semua
pojoknya dan menempatkan potongan-potongan tersebut sedemikian sehingga menutup
bidang rata. Selenjutnya siswa diminta untuk menyelidiki apakah keempat sudut
itu membentuk sudut putaran.
Siswa diinstruksikan
untuk mengukur panjang sisi-sisi suatu segiempat, apakah ada sisi yang sama
panjang?
Siswa diinstruksikan untuk mengukur
diagonal suatu segi empat, apakah diagonalnya sama panjang?
3.
Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 3 (Penjelasan)
Siswa diberi
bemacam-macam potongan segiempat. Mereka diminta untuk mengelompokkan segiempat
berdasarkan sifat-sifat tertentu, seperti:
a) segiempat yang mempunyai sisi sejajar
b) segiempat yang mempunyai sudut-sudut siku-siku
c) segiempat yang mempunyai sisi-sisi sama panjang
4.
Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 4 (Orientasi Bebas)
Dengan menggunakan
potongan segitiga, siswa diminta untuk membentuk segiempat, dan menyebutkan
nama segiempat yang telah terbentuk.
5.
Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 5 (Integrasi)
Siswa dibimbing untuk menyimpulkan sifat-sifat
segiempat tertentu, seperti:
a) sifat persegi adalah: ....
b) sifat persegipanjang adalah ....
c) sifat belahketupat adalah ....
d) sifat jajargenjang adalah ....
e) sifat layang-layang adalah ....
f) sifat trapesium adalah ....
Teori
pembelajaran Bruner
Pembelajaran
di SD cenderung masih berorientasi pada guru. Sekalipun sudah ada kurikulum
KTSP namun sebagian SD masih banyak yang belum dapat melaksanakan KTSP sepenuhnya. Terbatasnya SDA guru yang
sekarang mengajar serta aspek pengaruh lingkungan dan kurangnya fasilitas belum
dapat mewujudkan KTSP sepenuhnya.
Pembelajaran
matematika di SD memang sangat memerlukan perlu perhatian serius. Konsep –
konsep matematika pertama kali masuk di tingkat SD, sehingga apabila terjadi
kegagalan konsep maka akan berdampak cukup lama. Untuk itu, pendidikan
matematika di SD harus berhasil.
Agar
dapat berhasil maka proses pemerolehan ilmu yang berupa transfer informasi
tidak boleh gagal. Untuk itu dapat memilih teori Bruner dalam belajar
matematika. Teori Bruner sangat cocok karena mengutamakan transformasi
informasi sebagai perhatian utama dalam pembelajaran. Ini karena ada kesadaran
bahwa jika informasi tidak dapat diterima dengan baik maka akan muncul
kegagalan pembelajaran.
Pembelajaran
di SD akan lebih berhasil apabila melibatkan siswa sebagai obyek dan subjek
didik secara aktif kedalam pembelajaran. Teori belajar yang Bruner kembangkan
cukup dapat dipertimbangkan untuk digunakan dalam pembelajaran.
Bruner
adalah seorang ahli psikologi kognitif yang lahir di tahun 1915 yang memberi dorongan
agar pendidikan memberi perhatian pada pentingnya pengembangan berpikir. Dasar
pemikiran teorinya memandang bahwa manusia adalah sebagai pemroses, pemikir dan
pencipta informasi. Oleh karenanya, yang terpenting dalam belajar adalah cara –
cara bagaimana seorang memilih, memperhatikan dan mentransformasikan infomasi
yang diterimanya secara aktif. Bruner sangat memperhatikan informasi yang
diterima itu untuk mencapai pemahaman.
Menurut
Bruner ada 3 proses kognitif yang terjadi dalam diri seseorang.
1.
Proses pemerolehan informasi baru
2.
Proses mentransformasikan informasi yang
diterima
3.
Menguji relevansi dan ketepatan
pengetahuan
Pendekatan
yang digunakan dalam model belajar bruner didasarkan pada dua asumsi yakni :
1.
Perolehan pengetahuan merupakan suatu
proses interaktif, artinya pengetahuan akan diperoleh orang yang belajar bila
didalam pembelajaran yang bersangkutan berinteraksi secara aktif dengan
lingkungannya.
2.
Orang mengkonstruksikan pengetahuannya
dengan cara menghubungkan informasi yang tersimpan yang telah diperoleh
sebelumnya.
Penerapan teori belajar Bruner dalam
pembelajaran dapat dilakukan dengan tahap – tahap berikut:
1. Berikan konsep tentang mencari Luas
segitiga
2. Bantu dia dalam penerapan pada soal
3. Berikan contoh penerapan penyajian
soalnya dengan
·
L = 1/2 x a x t
·
L = Luas segitiga
·
a = alas segitiga
·
t = tinggi segitiga
4. berikan
pertanyaan tentang bagaimana siswa mencarinya? Biar siswa menjawabnya sendiri
5.
Ajak dan
beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang
dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya
TEORI BELAJAR GAGNE
Salam
sejahtera! Pada tutorial online yang ketiga ini Anda akan mempelajari Teori
Belajar Gagne. Di sini Anda akan diperkenalkan lebih lanjut pada penerapan teori
belajar Gagne dalam mata pelajaran matematika. Kalau sebelumnya Anda sudah
mengetahui teori-teori belajar yang menjadi landasan dalam proses
belajar-mengajar matematika, kali ini akan diuraikan mengenai teori belajar yang
umum dipakai dalam proses pembelajaran matematika. Teori ini diperkenalkan oleh
Robert M. Gagne (foto di samping) pada tahun 1960-an. Menurut Gagne
pembelajaran harus dikondisikan untuk memunculkan respons yang diharapkan.
Dasar-Dasar Teori Belajar Gagne
1. Objek
belajar matematika terdiri dari objek langsung, yaitu fakta, keterampilan,
konsep, prinsip, dan objek tak langsung, yaitu transfer belajar, kemempuan
menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, disiplin pribadi dan apresiasi pada
struktur matematika.
2. Menurut
Gagne penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar
disebut kapabilitas.
3. Gagne
mengemukakan 5 macam kapabilitas, yaitu informasi verbal, keterampilan
intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan motorik.
4. Keterampilan
intelektual menurut Gagne dikelompokkan ke dalam delapan tipe, yaitu: belajar
isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian
verbal, belajar memperbedakan, belajar pembentukan aturan, dan belajar
pemecahan masalah.
5. Menurut
Gagne sasaran pembelajaran adalah kemampuan. Kemampuan yang dimaksudkan di sini
adalah hasil perilaku yang bisa dianalisis.
6. Gagne
berpendapat bahwa rangkaian belajar dimulai dari prasyarat yang sederhana yang
kemudian meningkat pada kemempuan kompleks.
Implementasi Teori Belajar Gagne
dalam Pembelajaran Matematika
-
Membangkitkan dan memelihara perhatian
-
Merangsang siswa untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan
yang
relevan sebagai prasyarat
-
Menyajikan situasi atau pelajaran baru
-
Memberikan bimbingan belajar
-
Memberikan Feedback atau balikan
-
Menilai hasil belajar
-
Mengupayakan transfer belajar
-
Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk
menerapkan
apa yang telah dipelajari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar