Rabu, 21 Desember 2011

teori belajar matematika


Teori Belajar Jean Piaget
Ahli teori belajar yang sangat berpengaruh adalah Jean Peaget. Dia adalah ahli psikologi bangsa Swiss yang meyakini bahwa perkembangan mental setiap pribadi melewati empat tahap yaitu:
  1. Tahap sensorimotorik (0-2 tahun) pada tahap ini anak-anak mengembangkan konsep pada dasarnya melalui interaksi dengan dunia fiksi
  2. Tahap praoperasional (2-7 tahun). Pada tahap ini anak sudah mulai untuk menyatakan ide, tetapi ide tersebut masih sangat tergantung pada persepsi. Pada tahap ini anak telah mulai menggunakan simbol, dia belajar untuk membedakan antara kata atau istilah dengan objek yang diwakili oleh kata atau istilah tersebut.
  3. Tahap operasi kongkret (7-12 tahun)selama tahap ini anak mengembangkan konsep dengan menggunakan  benda-benda kongkret untuk menyelidiki  hubungan dan model-model ide abstrak bahasa merupakan alat yang sangt penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep. Pada tahap ini anak sudah mulai berpikir logis, berpikir logis ini terjadi sebagai akibat adanya kegiatan anak memanipulasikan benda-benda kongkret.
  4. Tahap operasi formal (12 dewasa) anak sudah mulai mampu berpikir secara abstrak, dia dapat menyusun hipotesis dari hal-hal yang abstrak menjadi dunia real dan tidak terlalu bergantung pada benda-benda kongkret.
Piaget menekankan bahwa proses belajar merupakan suatu asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi adalah proses terpadunya informasi dan pengalaman baru ke dalam struktur mental. Akomodasi adalah perubahan pikiran sebagai suatu akibat adanya informasi dan pengalaman baru, mereka secara aktif mencoba. Sebagai contoh dalam operasi penjumlahan, anak memahami 5 + 3 = 8 dengan memanipulasi benda-benda kongkret yang telah dia kenal.



Teori Belajar Brownell

Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur Brownell, yang mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Menurut Brownell (1935), ia mengatakan :
“…he characterized his point of view as the “meaning theory.” In developing it, he laid the foundation for the emergence of the “new mathematics.” He showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for children's mathematical learning…”
Pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika baru.
Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika.
 Meaning Theory yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan hafal/ulangan).
Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran matematika yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon, menurutnya terkesan bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya sebagai kemahiran.
Dalam teorinya Brownell mengakui akan pentingnya drill, tetapi harus dikukan apabila konsep, prinsip, atau proses yang dipelajari telah lebih dahulu dipahami oleh siswa. Hal ini ini dikarenakan bahwa penguasaan seseorang terhadap matematika tidak cukup hanya dilihat dari kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja, tetapi juga dalam aspek praktis dan kemampuan berpikir kuantitatif.
Selain itu juga Brownell memberikan saran dalam pengajaran matematika, siswa sebaiknya memahami pentingnya bilangan, baik dalam segi kehidupan sosial manusia maupun segi intelektual dalam sistem kualitatif.


Teori Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkatergorikan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa jika benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Perkembangan konsep matematika menurut Dienes (dalam Resnick, 1981) dapat dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajar dari kongkret ke simbolik. Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara kongkret dan lebih membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada anak didik.
Menurut Dienes komsep-konsep pembelajaran matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membaginya kedalam 6 tahap, yaitu:
1. Permainan Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.
2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tebal atau tidak merah (biru, hijau, kuning).
3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).
4. Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
Rumus menentukan banyaknya diagonal suatu poligon
Banyaknya diagonal =
Keterangan :
n : banyaknya segi
6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman ( abstraction ) anak berlangsung selama belajar.
Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.
material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan Berhubungan dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan untuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanda simbol - simbol dengan konsep tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar menghapal.
Penerapan teori belajar Dienes dalam pembelajaran matematika

Anak yang telah memahami hukum kekekalan bilangan akan mengerti bahwa banyaknya suatu benda-benda akan tetap meskipun letaknya berbeda-beda atau diubah letaknya. Anak yang sudah memahami hukum kekekalan bilangan sudah siap untuk menerima pelajaran konsep bilangan dan operasinya. Sementara itu, anak yang belum memahami hukum kekekalan bilangan baginya belum waktunya mendapatkan pelajaran operasi penjumlahan dan operasi hitung lainnya. Hukum kekekalan bilangan biasanya dipahami anak pada usia 6 – 7 tahun.
Seorang anak sudah memahami hukum kekekalan bilangan atau belum, dapat diketahui dengan diberikan kegiatan sebagai berikut:
a. Buatlah dua kelompok benda (batu atau kelereng) yang besar dan banyaknya sama, serta penataan letaknya sama. Tanyakan pada anak yang diselidiki, dengan pertanyaan: banyaknya batu pada dua kelomok sama atau tidak? Pastikan bahwa anak akan memahami dengan benar hukum kekekalan tersebut kalau menjawab banyaknya sama (Gambar )
Gambar . Dua kelompok benda sama banyak dan sama letaknya.
b. Di depan anak yang sedang diselidiki, salah satu dari kelompok batu itu disebar atau diubah letaknya. Kemudian tanyakan kembali pada anak tersebut, apakah banyaknya batu yang ada pada dua kelompok itu tetap sama atau tidak? Jika anak menjawab dengan pasti bahwa banyaknya batu tetap sama, maka anak tersebut sudah memahami hukum kekekalan bilangan. Jika anak tersebut ragu-ragu atau dijawabnya tidak sama, maka anak tersebut belum memahami hukum kekekalan bilangan (Gambar )

Gambar . .Salah satu kelompok diubah letaknya.
Kegiatan atau permainan pemasangan satu-satu terhadap benda-benda dalam 2 kelompok tersebut dapat diberikan pada anak yang belum memahami kekekalan bilangan. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat pemahaman anak terhadap hukum kekekalan bilangan.



Teori Van Hiele
Pembelajaran Geometri
Geometri menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika menengah, karena banyaknya konsep-konsep yang termuat di dalamnya. Dari sudut pandang psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan. Sedangkan dari sudut pandang matematik, geometri menyediakan pendekatan-pendekatan untuk pemecahan masalah, misalnya gambar-gambar, diagram, sistem koordinat, vektor, dan transformasi. Geometri juga merupakan lingkungan untuk mempelajari struktur matematika.

Usiskin mengemukakan bahwa
1.      geometri adalah cabang matematika yang mempelajari pola-pola visual,
2.      geometri adalah cabang matematika yang menghubungkan matematika dengan dunia fisik atau dunia nyata,
3.      geometri adalah suatu cara penyajian fenomena yang tidak tampak atau tidak bersifat fisik, dan
4.      geometri adalah suatu contoh sistem matematika.

Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara matematik. Sedangkan Budiarto menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan pengetahuan untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta menginterpretasikan argumen-argumen matematik.

Pada dasarnya geometri mempunyai peluang yang lebih besar untuk dipahami siswa dibandingkan dengan cabang matematika yang lain. Hal ini karena ide-ide geometri sudah dikenal oleh siswa sejak sebelum mereka masuk sekolah, misalnya garis, bidang dan ruang. Meskipun demikian, bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih rendah dan perlu ditingkatkan. Bahkan, di antara berbagai cabang matematika, geometri menempati posisi yang paling memprihatinkan.

Di Amerika Serikat, hanya separuh dari siswa yang ada yang mengambil pelajaran geometri formal, dan hanya sekitar 34% siswa-siswa tersebut yang dapat membuktikan teori dan mengerjakan latihan secara deduktif. Selain itu, prestasi semua siswa dalam masalah yang berkaitan dengan geometri dan pengukuran masih rendah . Selanjutnya, Hoffer menyatakan bahwa siswa-siswa di Amerika dan Uni Soviet sama-sama mengalami kesulitan dalam belajar geometri.

Rendahnya prestasi geometri siswa juga terjadi di Indonesia. Bukti-bukti empiris di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar geometri, mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa prestasi geometri siswa SD masih rendah (Sudarman, 2000:3). Sedangkan di SMP ditemukan bahwa masih banyak siswa yang belum memahami konsep-konsep geometri. Sesuai penelitian Sunardi (2001) ditemukan bahwa banyak siswa salah dalam menyelesaikan soal-soal mengenai garis sejajar pada siswa SMP dan masih banyak siswa yang menyatakan bahwa belah ketupat bukan jajargenjang.

Di SMU, Madja (1992:3) mengemukakan bahwa hasil tes geometri siswa kurang memuaskan jika dibandingkan dengan materi matematika yang lain. Kesulitan siswa dalam memahami konsep-konsep geometri terutama pada konsep bangun ruang. Madja (1992:3) menyatakan bahwa siswa SMU masih mengalami kesulitan dalam melihat gambar bangun ruang. Sedangkan di perguruan tinggi, berdasarkan pengalaman, pengamatan dan penelitian ditemukan bahwa kemampuan mahasiswa dalam melihat ruang dimensi tiga masih rendah. Bahkan dari berbagai penelitian, masih ditemukan mahasiswa yang menganggap gambar bangun ruang sebagai bangun datar, mahasiswa masih sulit menentukan garis bersilangan dengan berpotongan, dan belum mampu  menggunakan perolehan geometri SMU untuk menyelesaikan permasalahan geometri ruang. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam belajar geometri tersebut, cara yang dapat ditempuh adalah penerapan teori van Hiele.
Teori van Hiele dan Penelitian yang Relevan

Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele. Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele. Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an. Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango (1993:157) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar van Hiele dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang memuaskan. Senk (1989:318) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis pembuktian geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele. Mayberry (1983:67) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori van Hiele adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986:47) melaporkan bahwa siswa menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir geometri sesuai dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo (1989:77) menyimpulkan bahwa pembelajaran geometri dengan pembelajaran model van Hiele lebih efektif daripada pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni (2001:165) menyatakan bahwa penerapan model van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir siswa.
Tingkat Berpikir van Hiele

Teori van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui lima tahap perkembangan berpikir dalam belajar geometri. Kelima tahap perkembangan berpikir van Hiele adalah tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), tahap 2 (deduksi informal), tahap 3 (deduksi), dan tahap 4 (rigor).




Tahap berpikir van Hiele dapat dijelaskan sebagai berikut.

Tahap 0 (Visualisasi)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, tahap visual. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar berdasar karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan.

Tahap 1 (Analisis)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa.

Tahap 2 (Deduksi Informal)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer, Argyropoulos dan Orton  menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat antara beberapa bangun geometri. Siswa dapat membuat definisi abstrak, menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun geometri.

Tahap 3 (Deduksi)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Pada tahap ini siswa dapat menyususn bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti. Siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini siswa berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.

Tahap 4 (Rigor)
Clements & Battista  juga menyebut tahap ini dengan tahap metamatematika, sedangkan Muser dan Burger menyebut dengan tahap aksiomatik. Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.

Teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) tahap-tahap tersebut bersifat hirarki dan sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya lebih bergantung pada pembelajaran, dan (3) setiap tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri. Burger dan Culpepper juga menyatakan bahwa setiap tahap memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan sendiri-sendiri.

Clements & Battista menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) belajar adalah proses yang tidak kontinu, terdapat “lompatan” dalam kurva belajar seseorang, (2) tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang dipahami secara implisit pada suatu tahap akan dipahami secara ekplisit pada tahap berikutnya, dan (4) setiap tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri. Crowley menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai sifat-sifat berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus melalui tahap-tahap tersebut sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni keberhasilan dari tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi oleh isi dan metode pembelajaran daripada oleh usia; (3) intrinsik dan kestrinsik, yakni obyek yang masih kurang jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5) mismacth, yakni jika seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang berbeda. Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya berada pada tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa.

Setiap tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan oleh proses berpikir yang digunakan.

Tahap-tahap berpikir van Hiele akan dilalui siswa secara berurutan. Dengan demikian siswa harus melewati suatu tahap dengan matang sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada umur dan kematangan. Dengan demikian, guru harus menyediakan pengalaman belajar yang cocok dengan tahap berpikir siswa.Menurut Van Hiele ada tiga unsure dalam pengajaran matematika yaitu waktu,materi pengajaran danmetode pengajaran,jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir lebih tinggi

1. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 1 (Informasi)
a. Dengan memakai gambar bermacam-macam bangun segiempat, siswa diinstruksikan untuk memberi nama masing-masing bangun.
b. Guru mengenalkan kosa kata khusus, seperti: simetri lipat, simetri putar, sisi berhadapan, sudut berhadapan, dan sisi sejajar.
c. Dengan metode tanya jawab, guru menggali kemampuan awal siswa.

2. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 2 (Orientasiasi)
1. Siswa disuruh membuat suatu model bangun segiempat dari kertas.
a. Dengan menggunakan model bangun tersebut serta kertas berpetak siku-siku, siswa diinstruksikan untuk menyelidiki:
1) banyaknya sisi berhadapan yang sejajar
2) sudut suatu bangun siku-siku atau tidak
b. Dengan menggunakan suatu model bangun, siswa diminta untuk melipat model bangun tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menemukan sumbu simetri. Selanjutnya siswa diinstruksikan untuk menyelidiki banyaknya sumbu simetri yang dimiliki oleh suatu bangun.
c. Melipat model tersebut pada diagonalnya, kemudian menempatkan yang satu di atas yang lain. Siswa diminta untuk menyelidiki banyaknya pasangan sudut berhadapan yang besarnya sama.
d. Memotong pojok yang berdekatan, kemudian menempatkan salah satu sisi potongan pertama berimpit dengan salah satu sisi potongan yang kedua. Siswa diminta untuk menyelidiki apakah sudut yang berdekatan membentuk sudut lurus.
e. Memotong semua pojoknya dan menempatkan potongan-potongan tersebut sedemikian sehingga menutup bidang rata. Selenjutnya siswa diminta untuk menyelidiki apakah keempat sudut itu membentuk sudut putaran.
Siswa diinstruksikan untuk mengukur panjang sisi-sisi suatu segiempat, apakah ada sisi yang sama panjang?
            Siswa diinstruksikan untuk mengukur diagonal suatu segi empat, apakah diagonalnya sama panjang?

3. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 3 (Penjelasan)
Siswa diberi bemacam-macam potongan segiempat. Mereka diminta untuk mengelompokkan segiempat berdasarkan sifat-sifat tertentu, seperti:
a) segiempat yang mempunyai sisi sejajar
b) segiempat yang mempunyai sudut-sudut siku-siku
c) segiempat yang mempunyai sisi-sisi sama panjang
4. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 4 (Orientasi Bebas)
Dengan menggunakan potongan segitiga, siswa diminta untuk membentuk segiempat, dan menyebutkan nama segiempat yang telah terbentuk.
5. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 5 (Integrasi)
Siswa dibimbing untuk menyimpulkan sifat-sifat segiempat tertentu, seperti:
a) sifat persegi adalah: ....
b) sifat persegipanjang adalah ....
c) sifat belahketupat adalah ....
d) sifat jajargenjang adalah ....
e) sifat layang-layang adalah ....
f) sifat trapesium adalah ....
Teori pembelajaran Bruner

Pembelajaran di SD cenderung masih berorientasi pada guru. Sekalipun sudah ada kurikulum KTSP namun sebagian SD masih banyak yang belum dapat melaksanakan  KTSP sepenuhnya. Terbatasnya SDA guru yang sekarang mengajar serta aspek pengaruh lingkungan dan kurangnya fasilitas belum dapat mewujudkan KTSP sepenuhnya.
Pembelajaran matematika di SD memang sangat memerlukan perlu perhatian serius. Konsep – konsep matematika pertama kali masuk di tingkat SD, sehingga apabila terjadi kegagalan konsep maka akan berdampak cukup lama. Untuk itu, pendidikan matematika di SD harus berhasil.
Agar dapat berhasil maka proses pemerolehan ilmu yang berupa transfer informasi tidak boleh gagal. Untuk itu dapat memilih teori Bruner dalam belajar matematika. Teori Bruner sangat cocok karena mengutamakan transformasi informasi sebagai perhatian utama dalam pembelajaran. Ini karena ada kesadaran bahwa jika informasi tidak dapat diterima dengan baik maka akan muncul kegagalan pembelajaran.
Pembelajaran di SD akan lebih berhasil apabila melibatkan siswa sebagai obyek dan subjek didik secara aktif kedalam pembelajaran. Teori belajar yang Bruner kembangkan cukup dapat dipertimbangkan untuk digunakan dalam pembelajaran.
Bruner adalah seorang ahli psikologi kognitif yang lahir di tahun 1915 yang memberi dorongan agar pendidikan memberi perhatian pada pentingnya pengembangan berpikir. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia adalah sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Oleh karenanya, yang terpenting dalam belajar adalah cara – cara bagaimana seorang memilih, memperhatikan dan mentransformasikan infomasi yang diterimanya secara aktif. Bruner sangat memperhatikan informasi yang diterima itu untuk mencapai pemahaman.
Menurut Bruner ada 3 proses kognitif yang terjadi dalam diri seseorang.
1.      Proses pemerolehan informasi baru
2.      Proses mentransformasikan informasi yang diterima
3.      Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan
Pendekatan yang digunakan dalam model belajar bruner didasarkan pada dua asumsi yakni :
1.      Perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif, artinya pengetahuan akan diperoleh orang yang belajar bila didalam pembelajaran yang bersangkutan berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya.
2.      Orang mengkonstruksikan pengetahuannya dengan cara menghubungkan informasi yang tersimpan yang telah diperoleh sebelumnya.
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan tahap – tahap berikut:
1.      Berikan konsep tentang mencari Luas segitiga
2.      Bantu dia dalam penerapan pada soal
3.      Berikan contoh penerapan penyajian soalnya dengan
·         L = 1/2 x a x t
·         L = Luas segitiga
·         a = alas segitiga
·         t = tinggi segitiga
4.      berikan pertanyaan tentang bagaimana siswa mencarinya? Biar siswa menjawabnya sendiri
5.      Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya. Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya



TEORI BELAJAR GAGNE
Salam sejahtera! Pada tutorial online yang ketiga ini Anda akan mempelajari Teori Belajar Gagne. Di sini Anda akan diperkenalkan lebih lanjut pada penerapan teori belajar Gagne dalam mata pelajaran matematika. Kalau sebelumnya Anda sudah mengetahui teori-teori belajar yang menjadi landasan dalam proses belajar-mengajar matematika, kali ini akan diuraikan mengenai teori belajar yang umum dipakai dalam proses pembelajaran matematika. Teori ini diperkenalkan oleh Robert M. Gagne (foto di samping) pada tahun 1960-an. Menurut Gagne pembelajaran harus dikondisikan untuk memunculkan respons yang diharapkan.
Dasar-Dasar Teori Belajar Gagne
1.      Objek belajar matematika terdiri dari objek langsung, yaitu fakta, keterampilan, konsep, prinsip, dan objek tak langsung, yaitu transfer belajar, kemempuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, disiplin pribadi dan apresiasi pada struktur matematika.
2.      Menurut Gagne penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kapabilitas.
3.      Gagne mengemukakan 5 macam kapabilitas, yaitu informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan motorik.
4.      Keterampilan intelektual menurut Gagne dikelompokkan ke dalam delapan tipe, yaitu: belajar isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian verbal, belajar memperbedakan, belajar pembentukan aturan, dan belajar pemecahan masalah.
5.      Menurut Gagne sasaran pembelajaran adalah kemampuan. Kemampuan yang dimaksudkan di sini adalah hasil perilaku yang bisa dianalisis.
6.      Gagne berpendapat bahwa rangkaian belajar dimulai dari prasyarat yang sederhana yang kemudian meningkat pada kemempuan kompleks.
Implementasi Teori Belajar Gagne dalam Pembelajaran Matematika
- Membangkitkan dan memelihara perhatian
- Merangsang siswa untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan
yang relevan sebagai prasyarat
- Menyajikan situasi atau pelajaran baru
- Memberikan bimbingan belajar
- Memberikan Feedback atau balikan
- Menilai hasil belajar
- Mengupayakan transfer belajar
- Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk
menerapkan apa yang telah dipelajari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar